Pentingnya Punya Penulis Favorit (Alternate title: Panutan, Rival, dan Julid yang Sehat)

pls jangan kontak penulisnya i am still
can't move on from my awkward e-mail thx

Setelah dikomentari oleh salah satu teman di Facebook bahwa dia ingin menyampaikan urgensi memiliki panutan menulis sebagai seorang penulis, saya bertanya-tanya apa saya sanggup menulis topik ini. Saya sadar penulis favorit saya sudah mempengaruhi cara tulis, baik itu dalam blogging atau narrative storytelling, tapi saya sendiri tidak tahu bagaimana cara memulai topik ini.

Urgensi punya panutan, mungkin? Saya tidak punya banyak. Mungkin satu yang saya baca ulang berkali-kali, tapi jarang ada tulisan yang membuat saya ingin re-read berkali-kali. Hanya ada tiga penulis yang bisa saya sebut kalau langsung ditanya tiba-tiba, empat kalau penulis yang menginspirasi saya menulis juga dihitung.

Saya banyak berpikir soal topik ini, lalu tersadar bahwa saya bisa saja menjelaskan bagaimana penulis favorit saya mempengaruhi gaya tulis dan semangat berkarya saat saya remaja, juga bagaimana kehadiran FantasTeen sebagai wadah kecil saya untuk punya rival tanpa harus jadi cringe dan lempar sarung tangan ke sesama remaja terdekat.

Kalau kalian ikut perjalanan saya umur 13 tahun mencoba merangkum sebanyak mungkin ilmu menulis di blog ini, kalian mungkin tahu juga kalau saya berusaha terbit di penerbit FantasTeen. FantasTeen adalah penerbit yang menerima tulisan remaja (at that point, anak seumuran saya) yang menulis cerita dalam genre fantasi. Yep. Itu juga dorongan yang membuat blog ini berkonten banyak soal worldbuilding, soal cara bertarung, soal karakter, class, medieval fantasy resource, dan masih banyak lagi.

Backtracking this blog, kalian akan membaca mimpi kecil seorang anak remaja yang menulis tutrorial bukan untuk mencari pembaca, tapi pemahaman. Memahami teknik. Memahami hal-hal yang menurut saya menarik sebagai penulis tentang genre fantasi.

Saya suka worldbuilding. Saya ingin pembaca saya masuk ke dunia saya.

Saya suka adegan gebuk-gebukan fantasi. Saya mau karakter saya gebuk monster kuat dan menang.

Saya suka banyak hal, dan saya berusaha paham cara dengan mencari sebanyak mungkin tutorial yang bisa saya telan dan terjemahkan, lalu dirangkum sesuai dengan pemahaman anak remaja yang ingin sekali menerbitkan kisah kecil dalam kepalanya. Ada beberapa tutorial yang kalau dibaca sekarang, saya bakal nangis karena julid ke diri sendiri. Memang dangkal sekali, dan menjelaskan apa yang menarik dari mata lugu seorang remaja kecil.

The influence of FantasTeen as a publisher is big. Motivasi yang dulu saya anggap kecil, ternyata selain menghasilkan banyak tulisan yang bisa saya tertawakan sekarang, dia punya jejak berbentuk blog ini. Gapapa kalau kalian backtrack ke post pertama blog ini dan cringe. Saya juga kok.

Bukan hanya semangat menulis dan mencari ilmu menulis saja. Kalian sudah baca title tulisan ini. Saya juga pertama kali ingin menulis karena penulis di sana.

Wah, Mbak Ziggy ya? No, you dummy I do not want to write like her. Ziggy bisa dibilang penulis yang mengubah isi dan pasar FantasTeen, tapi Fauzi Maulana adalah penulis yang membuat saya ingin menulis.

Kenapa bukan penulis populer di genre-nya? Kenapa bukan beliau yang berhasil merombak pasar? 

Kenapa penulis yang saya saya tanpa sengaja belajar menulis dan analisa karya dari membaca karya Kak Fauzi. Karena beliau, saya tidak sengaja belajar menulis, tanpa menulis. Lewat karya beliau yang secara tidak langsung mengajari saya untuk melakukan latihan menulis tanpa keyboard, tanpa membuat karya secara langsung.

Karya Ziggy dulu bikin saya bilang ke diri sendiri; "Wah, ini cerita bagus banget!"

Karya Fauzi?

"Kak Fauzi nulis plot bagus tapi susunan kalimatnya gak enak dibaca. Aku kalau nulis kayak gini sih gak akan pakai kalimat patah begini."

Yes. Technically, saya ngejulid sejak umur 13 guys. I am not ashamed to say that. Tapi apa kamu tahu bahwa karena karya Fauzi itu, saya tanpa sengaja melakukan teknik belajar menulis selama empat tahun tanpa sadar, sampai jadi kebiasaan?

Teknik ini disebut Echo dan Reflection.

Echo adalah tahap kamu membaca bagian tertentu yang kamu suka dari sebuah kisah, dan Reflection adalah tanggapan dan analisis kamu tentang tulisan tersebut, apa yang penulis tersebut berhasil lakukan, dan apa yang sebaiknya kamu lakukan bila ingin melakukan hal serupa.

I did this automaticly for 49 FantasTeen books. Granted, saya gak sengaja latihan nulis dengan ngejulid sehat tiap kali aku baca buku yang narasinya bikin 'oh that cool sentence'. Saya latihan menjulid dan merefleksi di easy mode.... agak ekstrim sih sampai sebanyak itu tapi saya dulu memang anak yang suka fantasi. Banget.

Mungkin lebih baik saya beri contoh, dan supaya 'saya' versi masa lalu bisa bahagia menulis, saya akan menggunakan contoh buku spesifik yang membuat dirinya pertama kali melakukan Reflection. Ini adalah contoh saya menyelidiki halaman pertama buku favorit saya yang menyolidkan keinginan saya terbit di FantasTeen.

Saya harap kalian juga punya penulis favorit yang secara sehat bisa kalian julidkan secara sehat. Sebuah refleksi; keinginan dan dorongan membaca lebih baik.


May your favourite author be your Rival one day

Rohaluss W


ECHO (masa remaja): Aku mau lihat bagaimana penulis FantasTeen mengawali ceritanya. Kemarin aku lihat karyanya Kak Fauzi, bosen di awal tapi ceritanya di tengah sampai akhir gak bisa berhenti.

ECHO (versi sekarang): Serius aku mau liat lagi narasi FantasTeen mana yang berhasil bikin saya gak sengaja Echo-terus-refleksi sebagai salah satu kebiasaan membaca saya sebagai penulis. I remember it was Absolute Zero first 5 page. Sekarang mungkin tiga paragraf pembuka cukup sebagai contoh, tergantung berapa banyak yang saya butuhkan untuk tutorial.


REFLECTION: *napas* OH BOY SATU HALAMAN CUKUP BRO.

Pembuka yang baik. Masalah saya sama tulisan Kak Fauzi selalu satu; straightforward narration yang enggak cantik-cantik banget, meskipun enggak jelek. Sekarangpun saya suka tulisan mengalun Anthony Hyde dan lebih suka alunan narasi Brennan dan Matthew Mercer, jadi enggak aneh kalau saya sampai sekarang masih menjulid/refleksi saya terhadap gaya narasi Fauzi masih sama. TAPI. Kak Fauzi, umur 17 tahun menulis narasi pembuka, dia berhasil memberi latar spesifik di halaman pertama, karakterisasi sebelum halaman lima, hook di paragraf dua, pesuasanaan suram setelah karakter dan sidekick (uhuk) diperkenalkan... kurang dari 3 paragraf, saya sudah terpancing kisah, dan kurang dari 3 halaman saya ingin ikut petualangan Arus dan Redas.

imstillcryingbtw.


Paragraf 1

Sinar matahari merembes dari celah tirai. Warna pucat kekuningan membangunkan Arus. Dia menggerutu kesal seraya melirik kalender. Dia mendengarkan radio dengan seksama yang dia setel sejak semalam.


Reflection Paragraf 1

Ini adalah paragraf pembuka novel ini. Enggak ada yang spesial. Saya versi kecilpun agak menghela di paragraf pertama ini; oh, pembuka bangun pagi. Penulis favorit saya pakai pembuka bangun pagi dan saya kurang afdol sama pembawaannya. The second paragraph of this novel changes everything, tho.


Paragraf 2

'Hari ini Senin, kawan-kawan.... hari ketika semuanya dimulai kembali. Lupakan soal libur dan kembalilah bekerja. Suhu di Bandung saat ini minus dua puluh derajat celsius, tapi bukan berarti kita hanya diam di kamar dan menggerutu.'


Reflection Paragraf 2

Saya bisa mendengar saya versi anak-anak menarik napas pendek. Saya versi umur 23 tahun menarik napas panjang, jalan bolak-balik tiga kali di kamar, minum kopi, negak air, terus duduk lanjut ngetik.

Holy fuck, this is the narration that made me want to be a writer.

Iya, aku lebih suka narasi mengalun yang intimate. Iya, aku sering mengadvokasi show don't tell karena saya ingin emosi teraduk bersama dengan karakter yang tertulis di buku; but this is a genius telling. Secara langsung berkata latar waktu, tempat, kejadian, dan keadaan spesifik dunia, tapi tidak infodumping dengan cara menyatakan lewat siaran radio yang dinyalakan semalaman.

Sebagai pembaca umur 23 tho, ada beberapa undertone yang saya temukan. Ada jendela yang sedikit terbuka dan kondisi Arus yang tidur dengan radio dinyalakan; menandakan kebiasaan dan unsur kesukaan karakter. Respon acuh-tak-acuh Arus di paragraf berikutnya menandakan bahwa kejadian ini sudah biasa. Penulis menggunakan banyak sifat telling dalam narasinya tapi berhasil showing tentang dunia post-apocalypse Indonesia.

It's the undertone of the narration. Tentang apa yang tidak sengaja terucap saat kamu menarasikan kurang dari yang dibutuhkan. Cerita favorit saya yang mirip dengan sifat narasi ini adalah penjelasan soal seorang Ayah yang Suicidal setelah kehilangan anaknya; narasinya dimulai dari buket yang ia ambil dari pemakaman anaknya, satu bunga ia mainkan dengan jari. Ujung tangkai bunga tersebut menyibak kain di pergelangan sang pria, menunjukan sayatan melintang yang belum dibersihkan sempurna. The depression, the tone, hal kecil yang tidak tersebut malah menciptakan narasi sendiri yang jauh, jauh lebih kuat.


Kalau ada hal yang ingin atau harus saya tiru di sini, adalah saya harus punya pembuka kuat dalam pembuatan cerita. Kalimat kaku ya itumah tinggalin aja. Pemilihan kata dan cara narasi harus sebagus ini.

Komentar

  1. Author Kiblat saya yang juga menjadi Rival saya justru sudah meninggal dunia dua tahun lalu. Saya kehilangan banyak semangat hingga akhirnya berusaha mencari semangat dengan jadi Admin Grup Kepenulisan. Sampai sekarang saya belum menemukan Rival yang sesuai. Ya, saya kira sosok itu akan muncul beberapa puluh tahun lagi, saya berkeinginan untuk menjadikan suatu saat nanti anak saya sendiri bisa menjadi rival terhebat dalam kehidupan saya ... setelah ibunya yang merupakan orang yang menyukai tulisan-tulisan saya berhasil saya pinang. Hahahahah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer