Dialog: Bahasa dan Implikatur (feat. First Reader who Actually Study Language)

 

Iya saya nanya langsung sama mahasiswa yang belajar
bahasa gegara postingan member grup menulis,

Saya tidak akan menyebut nama, tapi sejak ditanya soal bagaimana cara membuat dialog hidup, ada satu orang yang menulis contoh, dan saya tahu dia salah tapi saya tidak tahu salahnya di mana. Dialognya tidak terasa hidup. Kebingungan, saya harus bertanya pada First Reader saya sejak... 2016-ish.... --*checks note* ya sekitar taun segituan lah, give-or-take setaun-dua taun-- buat membantu saya apa tips terbaik untuk memperbaiki tulisan di sana. (yes, kalau kamu follow saya sejak blog ini dan blog sebelah ditulis, it's Iruhan. Yes, the same person. Friendships actually lasts huh)

Sejujurnya, saya bukan sastrawan, dan saya perlu waktu dan momen untuk bertanya pada dia, karena kalau kritik 'menurut saya dialog itu belum cukup hidup' tanpa memberi tahu masalahnya ada di mana, saya bakal mengecewakan orang yang ingin menulis lebih baik.

Jadi inilah jawaban tepat dari kebingungan saya dalam memberi kritik dan saran berguna tersebut.

------------------------------

Intermezzo

Pada awalnya kami membahas tentang apakah membaca dialog keras-keras dapat menolong, karena dialog adalah komunikasi terucap, tapi dia berkata itu tidak akan menolong banyak.

"Kenapa?"

"Dialog di film Sri Asih soalnya gitu."

Jadi ternyata masalah dialog mati-hidup karena kebahasaan yang formal-informal itu ada di wilayah professional juga. Ada masalah yang lebih luas lagi daripada sekedar memilih kata tepat, tidak takut akan logat, menulis 'eh, em, err,' dan menggunakan 'Lo, Gue, Aing, Maneh'. Masalah yang kami bahas sekilas ada pada 'standar penerbitan yang tidak jelas' dan 'ketakutan menggunakan kalimat dan kata informal', seperti itu.

Tentu saja kalau kamu menulis cerita berlatar luar negara, dia jadi agak bermasalah. Logat dan kebiasaan berbicara itu sangat... Indo. Kita ini tinggal di negara ratusan bahasa, dan meski ada Trope bahwa bangsa Roma memiliki logat british, asa aneh gitu kan kalau diterjemahkan bahwa orang luar pakai logat Sunda?

Oke, intermezzi selesai. Now back to your scheduled writing tips:

-----------------------------

Implikatur

"Jadi masalah utamanya harus nyeimbangin realistik dan menyampaikan tujuan, kan?"

Yap. Hal realistik terasa hidup, dan fiksi punya tujuan untuk menyampaikan gagasan. Bagaimana menyampaikan kedua hal tersebut jadi masalah, dan saya tidak tahu mau mulai dari mana.

Secara realistik, pembicaraan bisa lompat dari konten film Sri Asih ke logat Jawa untuk Elf lokal di cerita fantasi, ke kabar kucing peliharaan dan lalu kembali lagi ke kebahasaan. Realistik. Tapi menyampaikan ide jadi... kacau.

Sementara itu, secara ide, kalau kamu mau menyampaikan gagasan lewat dialog kamu tidak bisa menyampaikannya sekedar:

"Aku akan membunuh sang Raja."
"Kalau kamu serius aku akan berkhianat."


Jadi apa yang harus aku bilang ke orang-orang yang nulis ide lewat dialog seperti itu? Orang gak ngomong kayak gitu?


Dalam ilmu pragmatik atau cabang linguistik yang mempelajari hubungan konteks luar bahasa dan makna yang terucap, ada empat aturan dalam berbicara yang selalu dirusak dalam percakapan. Aturan tersebut adalah aturan untuk menyampaikan ide lewat kata. Empat maxim tersebut adalah:

1. Ngomong yang benar (jangan hal yang salah)

2. Ngomong yang cukup (jangan terlalu banyak atau terlalu sedikit)

3. Ngomong yang relevan (jangan random)

4. Ngomong yang jelas (jangan ambigu)

Tapi, orang sering berbohong. Orang juga kadang merasa harus bicara lebih. Jadi, dalam sebuah dialog yang hidup, harus diperhatikan tentang cara penyampaiannya yang manusiawi. Bagaimana cara kamu menulis percakapan yang merusak aturan di atas tanpa merusak 'makna' dan ide dari tujuan percakapan harus diperhatikan.

Ini mungkin agak membingungkan tanpa contoh, jadi...

I: "'BISA DIATUR' ITU IMPLIKATUR BAHWA KAMU MENOLAK BANTUAN--"
V: "JANGAN JADIKAN ITU CONTOH, OI!!"

Untuk contoh singkat, saya akan membuat satu dialog untuk tiap aturan yang saya akan patahkan.


Aturan: Bicara yang Benar (Kualitas) (1)

"Nyawa atau harta?" Luna tiba-tiba menaruh jari tengah dan telunjuk di leher Keith.
"Oh, tiiidaak..." Keith terkekeh. "Aku tidak punya uang."
"Bayar... pakai... Ciiiuuum!"

Dalam contoh di atas, Luna tidak benar-benar ingin merampok Keith. Dengan dialog tag dan follow up dialog, konteks dan gagasan bahwa mereka adalah sepasang kekasih dapat dibangun tanpa harus menyatakan secara langsung bahwa Luna meminta ciuman dari Keith. Tidak ada yang dirampas dalam teks... kecuali mencuri hati termasuk. (aciee)


"Apa kita akan membantai monster di luar hari ini?" Albert bergedik ketakutan.
"Enggak, kita bakal nunggu monster itu membantai penduduk dan pergi besok." Robert mendecis lalu membanting pintu. "Kutunggu di bawah setelah kau selesai mengeluh."

Contoh di atas menunjukan dua kalimat yang bertolak belakang, sarkastik dalam penyampaian. Tapi ide bahwa mereka harus berangkat secepatnya masih tersirat dalam percakapan.


Aturan: Bicara yang Cukup (Kuantitas) (2)

"Jadi, bagaimana sekolah?" tanya Ibu.
"Buruk." Layla menghela panjang, aroma sampah masih menempel di pakaiannya. Dia segera menaruh isi tas di meja belajarnya, lalu melempar tas dan sepatunya ke keranjang laundry. 

Teks di atas melanggar aturan bicara cukup (SATU KATA DOANG OI APA-APAAN). Informasi lainnya didapat dari konteks kejadian dan deskripsi, dan tanpa membuat dialog panjang Layla mengeluh, pembaca bisa mendapat ide dan gagasan bahwa ia tidak baik-baik saja.


"Joko! Ini sudah jam delapan!" sang Guru berteriak marah.
"E--eh, Ibu. Ini loh, jadi ya, begini, kemarin kan, hujan, dan aku pergi ke bioskop sama temen saat itu. Jadi aku harus nunggu baju kering, tapi listrik juga mati jadi--"
"Cukup. Kamu berdiri di depan! Saya tidak mau melihat kamu di kelas Ibu hari ini."

Dialog di atas melanggar aturan kuantitas (gak usah muter kalau mau bilang 'baju saya masih basah tadi pagi'). Ini pelanggaran yang kadang saya sendiri kurang bisa mainkan, sih. Terlalu banyak, maka akan terdengar seakan-akan menggurui atau infodump. Ada batas yang harus disadari dalam memberi informasi dengan kata-kata terlalu banyak supaya tetap realistik dan natural, tidak dipaksa.


Aturan: Bicara yang Relevan (3)

"Tidak, aku tidak bisa pergi. Ada delapan pekerjaan rumah minggu ini yang harus kukerjakan."
"Memangnya besok kamu akan dikunjungi Pangeran?"

Dialog di atas merespon kelakuan sok sibuk pelaku A (sori saya rada males bikin nama sekarang saya turu nulis bagian ini) dengan pertanyaan tidak relevan. Lebih kuat lagi kalau sebetulnya mereka bukan dari keluarga ternama.


"Gimana briefing misi besok?" tanya Mas Heru.
"Sudah diatur. Kamu bisa berenang?"

Dialog ini disambut penanda adegan ganti (***) disusul dengan narasi pantai dan laut lepas... atau adegan Mas Heru spionase jualan batagor di pinggir pantai.


Aturan: Bicara yang Jelas (Pelaksanaan) (4)

"Gimana pestanya? Seru?" tanya Heidi.
"Terlalu banyak orang. Makanannya unik. Sepulang dari sana, badanku sakit semua."

Dari dialog di atas, ada dua kemungkinan karena jawaban teman Heidi ambigu. Apa dia bilang tentang acaranya ramai, makanannya baru dan menarik, sampai ia tidak sadar kelelahan karena beraktivitas di sana, atau dia mengeluhkan keramaian dan keanehan makanan di sana?


Sekian dari saya. Tips menulis dialog ini disponsori ditolong oleh teman saya dan saya mau plug akun sosial yang ia pilih di sini [INSTAGRAM PUNYA FR SAYA] supaya asik.


May your dialogue be realistic and alive

RohalussWorld 2022

Komentar

Postingan Populer